'Di
Hilangkan' Tok Guru Haji Sulong Vs Tokoh HAM Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar)
Dengan Misteri'
Somchai (Abu Bakar) H.Sulong |
Haji
Sulong
Haji Sulong bin Haji Abdul Kadir bin
Muhammad bin Haji Zainul Abidin bin Ahmad @ Muhammad al-Fathoni, ketika itu
Haji Sulong mengabdi sebagai Ketua Majlis Agama Islam pada tahun 1945. Ia
sangat dihormati oleh masyarakat-masyarakat Melayu Muslim di Selatan thai
Patani Darussalam.
Menurut Muhammad Kamal terhadap Haji Sulong bahwa:
Haji Suloang, adalah salah satu
tokoh ulama Patani yang ditakdirkan memimpin masyarakatnya untuk menghadapi
politik siamisasi yang dilancarkan oleh pemerintahan Thailand. Karena
setelah beliau tinggal di Patani, beliau berusaha menbangkit kesatuan dan persatuan
semagat umat Islam Patani. “Haji Sulong tidak saja terkenal dengan kitab-kitab
karya dan aktivis dakwahnya, tetapi juga terlibatan dalam memperjuangkan demi
memperbaiki nasib masyarakat muslim Patani pada tahun-tahun pra dan pasca
perang dunia kedua” (Muhammad Kamal K.Zaman, 1996, 6).
Haji Sulong benar-benar seorang aktivis politik dalam kedudukannya sebagai pemimpin moral yang diakui oleh Melayu Muslim. Mereka menjadi popular di kalangan para pelajar dan jemaah haji di Asia Tenggara di Mekkah, dan melalui mereka prestige dan pengaruhnya bertambah besar. Ia kembali ke Patani pada tahun 1930, dan memulai karir sebagai pengajar yang menarik murid-murid dari seluruh pelosok Dunia Melayu.
Surin Pitsuwan dapat menjelaskan tentang latar belakang pendidikan Haji Sulong ketika berada di Makkah bahwa:
Seperti kebanyakan ulama Asia
Tenggara, Haji Sulong mula-mula masuk sebuah sekolah menegah Indonesia yang
terkenal, yang didirikan bagi pelajar-pelajar yang berbahasa Melayu di dekat
Ka’bah, di Masjid Haram, yang diberi nama Dar al-Ulum. Di sini diberikan
pelajaran mengenai ilmu-limu tradisional seperti : Tafsir Al-Quran, Hadits,
asas-asas ilmu hukum, dan tata bahasa Arab. Haji Sulong bergabung dengan
lingkaran-lingkaran scholastic yang berbahasa Melayu di Masjid Haram, dimana
dia menjadi seorang rector yunior mengenai hukum Islam mazhab Syafi’e. Pada
tahun 1927, ia berkenalan dengan gagasan-gagasan pembaharu dari Jamaluddin
al-Afghani dan Muhhammad Abduh selama tiga tahun belajar di Makkah, ketika ia
mendapat kesemapatan untuk bergaul dari beberapa ulama dari Mesir. Dari
pengalamannya di Makkah dan pergaulannya dengan ulama-ulama lain yang berbahasa
Melayu yang juga mulai menyadari potensi dan kemungkinan Islam sebagai sesuatu
kekuatan politik, Haji Sulong menupuk suatu keyakinan yang semakin kuat
terhadap keterlibatan politik dan aktivis social (Surin Pitsuwan, 1989,114).
Pada 1 April 1947, diadakan pertemuan di antara pemimpin-pemimpin masyarakat Islam wilayah selatan di Patani. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan untuk menyerahkan sebuah memorandum – yang mengandung beberapa tuntutan dari masyarakat Islam di selatan – kepada wakil-wakil kerajaan Thai sewaktu mereka melakukan kunjungan ke Patani. Pada tanggal 24 Agustus 1947, Haji Sulong (Ketua Majlis Agama Islam Patani) dan Wan Uthman Wan Ahmad (selaku Pengurus Persekutuan Semangat Patani) secara resmi menyerahkan memorandum tersebut kepada 7 orang utusan pemerintah yang berkunjung ke Patani. Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada tanggal 3 April 1947, Haji Sulong mengirimkan secara langsung memorandum tersebut kepada Perdana Mentri.
Hasil kesepakatan Memorandum ini berisi rencana tujuh yang dikenal dengan tututan “Tujuh Pasal” dari gagasan politik Haji Sulong dalam upaya mempertahankan kemandirian dan kemurnian Islam di Patani. Tujuh tuntutan ini yang nantinya dikenal dengan nama "Tujuh Tuntutan Haji Sulong".
Menurut Kandidat Doktor Sejarah University of Hawaii at Manoa, Amerika, Sejarawan dari Barat Muhamad Ali (Media Indonesia. 02 November 2004, OPINI), bahwa Haji Sulong menuntut atas pemerintahan Bangkok dengan terdapat beberapa hal yang meliputi:
- Wilayah selatan harus dipimpin orang local;
- 80% pegawai pemerintah harus orang Melayu;
- Melayu juga harus menjadi bahasa resmi, selain bahasa
Thailand;
- Bahasa Melayu harus menjadi medium pendidikan di
sekolah-sekolah,
- Hukum Islam harus diakui selain hukum sipil;
- Segala pemasukan local harus digunakan untuk
kepentingan local; dan
- Pembentukan sebuah Dewan Muslim.
Dengan terdapat beberapa alasan pada Haji Sulong bahwa
sebagian orang Melayu keberatan karena bahasa Thailand bukan bahasa ibu mereka;
jika mereka belajar agama Buddha maka pelajaran agama Islam akan terbengkalai.
Dengan alasan modernization pendidikan, pemerintah Thailand waktu itu tidak
menanggapi aspirasi ini.
Tuntutan tersebut tidak mengusulkan pembentukan sebuah negara merdeka, tapi hanya sebuah entity territorial dan kebudayaan yang untuk mempertahankan identity yang khas. Menurut Haji Sulong, masalah-masalah yang serius itu disebabkan oleh ketiadaan kepercayaan dan saling pengertian antara yang berkuasa dan yang diperintah. Rakyat Melayu tidak punya rasa kebersamaan (sense of belonging) yang diperlukan untuk memberikan kapada pemerintah Bangkok legitimacy atas kekuasaan mereka. Tuntutan mereka wajar mengigat kenyataan bahwa tuntutan itu didasarkan atas penderitaan-penderitaan yang nyata yang tidak dapat dikurangi dibawah struktur kekuasaan yang ada.
Haji Sulong tidak menginginkan pembentukan sebuah negara merdeka, hanya agar sebuah wilayah selatan dapat mempertahankan identitas serta sifat-sifat khasnya. Keinginan ini seolah menjadi syarat minimal yang harus terpenuhi karena golongan Melayu-Islam akan tetap mengupayakan kelangsungan cara hidup tradisionalnya serta menjaga kemurnian agama Islam yang mereka anut.
Semula, ada optimism dalam benak Haji Sulong mengenai tuntutan-tuntutan ini agar dapat dipertimbangkan oleh Bangkok, meski tidak seluruhnya. Perdana Menteri Pridi yang diketahui terpengaruh dengan bentuk federalism Switzerland, diyakini bersedia memberikan otonomi kebudayaan bagi etnik Melayu dalam lingkungan bangsa Thai. "Pridi lah yang oleh Haji Sulong sebagai pemimpin de factor kepada community Muslim, begitu diharapkan untuk memberikan dokongan politik kepada perjuangan untuk memperoleh otonomi politik".
Sayangnya harapan-harapan ini segera buyar dan gone ketika Phibul kembali berkuasa pada tanggal 8 November 1947, tidak lama setelah memorandum diserahkan. Meski Pridi telah pergi, Haji Sulong yang sudah terlibat dalam perpolitikan, tidak dapat menghentikan langkahnya demi memperjuangkan otonomi politik yang sudah berjalan. Belakangan, setelah peristiwa ini, beliau banyak terlibat dengan YM Tengku Mahmud Muhyiddin, putera Raja Patani yang terakhir, di Kelantan, dan ini juga yang menjadi sebab bagi penangkapan kali pertama Haji Sulong pada hari Jum'at tanggal 16 Januari 1948.
Setelah Phibul berkuasa, dalam hal hubungan Memorandum berisi rencana tujuh perkara ini, pemerintah juga tidak bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan itu, dengan pertimbangan bahwa tuntutan-tuntutan itu terlalu melanggar kekuasaan pusat dan dari sisi ekonomi terlalu mahal.
Haji Sulong dibebaskan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1952. Selama dalam tahanan di Ligor, beliau menulis sebuah karya yang berjudul “Gugusan Chahaya Keselamatan” yang kemudian diterbitkan oleh anaknya, Haji Mohd Amin pada tahun 1958, tetapi apa dayanya pemerintah segera dilarang – penerbitan dan peredaran buku tersebut – oleh kerajaan Thai. Haji Sulong dalam bukunya “Gugusan Cahaya Keselamatan” menjelas bahwa, rakyat ketika itu di tindas dengan kejam, sesuatu yang tidak di sukai pemerintah Siam dituduh melakukan pelanggaran undang kemudian ditahan, di hukum dan dibunuh. Tragedy bukan hanya menimpa atas beberapa orang saja namun ratusana jiwa di daerah Patani (Chalermkiat Khutongpej, 1995, 29). Setelah dibebaskan, Haji Sulong kembali ke Patani dan meneruskan pekerjaan awalnya yaitu menjadi "Tok Guru" dengan mengajar di pondok pesantren dan juga dari kalangan masyarakat (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 1994, 92).
Setelah dua tahun dibebaskan, pada tanggal 13 Agus 1954, Haji Sulong ke Songgora di jemput dari Gebenur Songgora untuk di intograsi oleh pihak kepolisian atas nama-nama yang tercantum dalam surat perintah dari pihak kepolisian di Songgora itu, yaitu Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan Ahmad To,mina bin Haji Sulong anak kandung Haji Sulong sendiri. Menurut surat perintah Gebenur Songgora, Ahmad To,mina tidak tercantum dalam daftar pihak kepolisian di Songgora, keikutsertaan ayahnya ke Songgora dalam upaya menterjemah bahasa Thai ke dalam bahsa Melayu dan bahasa Melayu ke dalam bahasa Thai, dengan karena Haji Sulong tidak bisa mengerti dan berbicara dalam bahasa Thai.
Setelah di intograsi oleh pihak kepolisian mereka berempat telah di izinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka masing-maising setelah ditandatangani oleh Gebenur Songgora. Ternyata Haji Sulong, serta dua rakan dan Ahmad To,mina anaknya Haji Sulong menghilangkan secara misterius. Sedangkan kepulangan mereka semua di tunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Dalam dugaan mesyarakat setempat bahwa mereka semua telah dihilangkan jejak dengan kelicikan yang di mainkan oleh pihak kepolisian Songgora (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 2001, 151). Ini merupakan suatu pengakuan kegagalan di pihak pemerintah (Pitsuwan,Surin, Op.Cit.127). Ada teori yang mendugakan bahwa keempat-empat mereka “ditahan” di luar undang-undang setelah mereka berempat sudah ditandatangani izin pulang ke Patani.
Dengan bukti yang megatakan mereka berempat “dihilangkan”, terdapat seorang nelayan Songgora yang berasal dari Panarek (nama derah di Wilayah Narathiwat), yang bernama Hasin, katanya:
Tuntutan tersebut tidak mengusulkan pembentukan sebuah negara merdeka, tapi hanya sebuah entity territorial dan kebudayaan yang untuk mempertahankan identity yang khas. Menurut Haji Sulong, masalah-masalah yang serius itu disebabkan oleh ketiadaan kepercayaan dan saling pengertian antara yang berkuasa dan yang diperintah. Rakyat Melayu tidak punya rasa kebersamaan (sense of belonging) yang diperlukan untuk memberikan kapada pemerintah Bangkok legitimacy atas kekuasaan mereka. Tuntutan mereka wajar mengigat kenyataan bahwa tuntutan itu didasarkan atas penderitaan-penderitaan yang nyata yang tidak dapat dikurangi dibawah struktur kekuasaan yang ada.
Haji Sulong tidak menginginkan pembentukan sebuah negara merdeka, hanya agar sebuah wilayah selatan dapat mempertahankan identitas serta sifat-sifat khasnya. Keinginan ini seolah menjadi syarat minimal yang harus terpenuhi karena golongan Melayu-Islam akan tetap mengupayakan kelangsungan cara hidup tradisionalnya serta menjaga kemurnian agama Islam yang mereka anut.
Semula, ada optimism dalam benak Haji Sulong mengenai tuntutan-tuntutan ini agar dapat dipertimbangkan oleh Bangkok, meski tidak seluruhnya. Perdana Menteri Pridi yang diketahui terpengaruh dengan bentuk federalism Switzerland, diyakini bersedia memberikan otonomi kebudayaan bagi etnik Melayu dalam lingkungan bangsa Thai. "Pridi lah yang oleh Haji Sulong sebagai pemimpin de factor kepada community Muslim, begitu diharapkan untuk memberikan dokongan politik kepada perjuangan untuk memperoleh otonomi politik".
Sayangnya harapan-harapan ini segera buyar dan gone ketika Phibul kembali berkuasa pada tanggal 8 November 1947, tidak lama setelah memorandum diserahkan. Meski Pridi telah pergi, Haji Sulong yang sudah terlibat dalam perpolitikan, tidak dapat menghentikan langkahnya demi memperjuangkan otonomi politik yang sudah berjalan. Belakangan, setelah peristiwa ini, beliau banyak terlibat dengan YM Tengku Mahmud Muhyiddin, putera Raja Patani yang terakhir, di Kelantan, dan ini juga yang menjadi sebab bagi penangkapan kali pertama Haji Sulong pada hari Jum'at tanggal 16 Januari 1948.
Setelah Phibul berkuasa, dalam hal hubungan Memorandum berisi rencana tujuh perkara ini, pemerintah juga tidak bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan itu, dengan pertimbangan bahwa tuntutan-tuntutan itu terlalu melanggar kekuasaan pusat dan dari sisi ekonomi terlalu mahal.
Haji Sulong dibebaskan empat tahun kemudian yaitu pada tahun 1952. Selama dalam tahanan di Ligor, beliau menulis sebuah karya yang berjudul “Gugusan Chahaya Keselamatan” yang kemudian diterbitkan oleh anaknya, Haji Mohd Amin pada tahun 1958, tetapi apa dayanya pemerintah segera dilarang – penerbitan dan peredaran buku tersebut – oleh kerajaan Thai. Haji Sulong dalam bukunya “Gugusan Cahaya Keselamatan” menjelas bahwa, rakyat ketika itu di tindas dengan kejam, sesuatu yang tidak di sukai pemerintah Siam dituduh melakukan pelanggaran undang kemudian ditahan, di hukum dan dibunuh. Tragedy bukan hanya menimpa atas beberapa orang saja namun ratusana jiwa di daerah Patani (Chalermkiat Khutongpej, 1995, 29). Setelah dibebaskan, Haji Sulong kembali ke Patani dan meneruskan pekerjaan awalnya yaitu menjadi "Tok Guru" dengan mengajar di pondok pesantren dan juga dari kalangan masyarakat (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 1994, 92).
Setelah dua tahun dibebaskan, pada tanggal 13 Agus 1954, Haji Sulong ke Songgora di jemput dari Gebenur Songgora untuk di intograsi oleh pihak kepolisian atas nama-nama yang tercantum dalam surat perintah dari pihak kepolisian di Songgora itu, yaitu Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan Ahmad To,mina bin Haji Sulong anak kandung Haji Sulong sendiri. Menurut surat perintah Gebenur Songgora, Ahmad To,mina tidak tercantum dalam daftar pihak kepolisian di Songgora, keikutsertaan ayahnya ke Songgora dalam upaya menterjemah bahasa Thai ke dalam bahsa Melayu dan bahasa Melayu ke dalam bahasa Thai, dengan karena Haji Sulong tidak bisa mengerti dan berbicara dalam bahasa Thai.
Setelah di intograsi oleh pihak kepolisian mereka berempat telah di izinkan untuk pulang ke kampung halaman mereka masing-maising setelah ditandatangani oleh Gebenur Songgora. Ternyata Haji Sulong, serta dua rakan dan Ahmad To,mina anaknya Haji Sulong menghilangkan secara misterius. Sedangkan kepulangan mereka semua di tunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Dalam dugaan mesyarakat setempat bahwa mereka semua telah dihilangkan jejak dengan kelicikan yang di mainkan oleh pihak kepolisian Songgora (Ahmad Fathi Al-Fathoni, 2001, 151). Ini merupakan suatu pengakuan kegagalan di pihak pemerintah (Pitsuwan,Surin, Op.Cit.127). Ada teori yang mendugakan bahwa keempat-empat mereka “ditahan” di luar undang-undang setelah mereka berempat sudah ditandatangani izin pulang ke Patani.
Dengan bukti yang megatakan mereka berempat “dihilangkan”, terdapat seorang nelayan Songgora yang berasal dari Panarek (nama derah di Wilayah Narathiwat), yang bernama Hasin, katanya:
"datang seorang aparat
kepolisian meminta bantuan supaya membuang lima bungkusan karung yang berisisi
mayat kedalam pantai yang berdekatan Pulau Tikus".
Menurut Hasin, mereka tidak mengetahui apa jenis bukusan karung yang tersisi di dalam kelima-lima karung tersebut. Mereka dapat mendegar gosib kehilangan Tok Guru (Haji Sulong) setelah tiba mendarat, Hasin segera langsung “mencium” yang berhubungan diantara peristiwa kehilangan Tok Guru yang berkaitan dengan karung yang telah mereka campakan pada malam hari tersebut di pantai Senggora yang berdekatan dengan pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) pada malam Sabtu 13 Agus 1954 (Ismail Che’Daud, 1988, 355-357). Terdapat empat karung yang diyakinkan empat mayat rombongan Tok Guru dan satu isi karung disebutkan aktivis komunis yang berbangsa Cina.
Pada peristiwa ini, keluarga Haji Sulong mengundang Hasin dan memberi perlindungan untuk menjadikan sebagai saksi dalam kasus kematian Tok Guru yang akan mendakwa kepegadilan mahkamah. Akan tetapi, sebelum Hasin dan keluarganga Haji Sulong menutut kasus “dihilangkan” Tok Guru ke pengadilan, Hasin telah pun terbunuh oleh orang tanpa diketahui. Pembenuhan Hasin berlaku seketika mereka keluar dari rumah berlindung untuk pulang ke rumah mereka dalam upaya ketemu isteri dan anaknya di Panarek.
Demikian kasus “dihilangkan” Haji Sulong, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang rekannya tidak bisa membongkar ke pengadilan, dengan tanpa ada saksi dan tanpanya ada kerjasama pihak kepolisian antar keluarga Tok Guru, lebih lagi kasus “dihilangkan” ini menakutkan penduduk masyarakat yang sedia ingin menjadikan saksi berikut. Akhirnya peristiwa “dihilangkan” Haji Sulong oleh aparat kepolisian tidak bisa mengungkit ke mahkamah kepengadilan.
Sementara itu, tekanan internasional terhadap kerajaan Thai bertambah besar atas kehilangan Haji Suloang, anaknya Ahmad To’mina dan dua orang rekannya, sehingga peristiwa Haji Sulong enyebab masalah Patani mendapat perhatian Liga Arab dan PBB (Surin Pitsuwan, Op.Cit.,125).
Ahkirnya riwayat Haji Sulong, Wan Usman bin Wan Ahmad, Cik Ishak bin Abas, dan Ahmad To,mina (Anak Haji Sulong) semua mereka di bunuh dan jasad mereka juga tanpa perkubaran atau makom, hanya nama Tok Guru dan tempat pembuagan jasad mereka menjadi catatan sejarah hingga sekarang. Dengan terkenal nama tepat arwah Haji Sulong itu di pulau Tikus dan pulau Kucing (Samila Beach) almarhum pada malam Sabtu 13 Agus 1954.
TOKOH HAM Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar)
Demikian kehilangan Somchai baru-baru ini, kasus kehilangan Somchai sebagai tokoh HAM pembela Muslim. Mereka
sebagai seorang pengacara Muslim yang banyak menangani case hak asasi manusia dan dinyatakan hilang, ternyata dibunuh oleh pejabat negara. Special teams pemerintah sedang menyidik case itu. Kelompok HAM menduga pengacara 52 tahun itu diculik dan dibunuh oleh pejabat polis. Sebab, Somcahi kerap protes atas penanganan masyarakat Muslim di selatan Thailand. Dia juga pernah menuduh polis menyiksa empat client nya yang dituduh anggota Jemaah Islamiyah selama di tahanan.
Somchai menghilang saat menjadi pengacara bagi 5 warga muslim di Thailand Selatan. Somchai mengajukan complain karena client nya mendapat penyiksaan selama dalam tahanan. Sebelum menghilang, Somchai mengaku kepada istrinya bahwa nyawanya dalam bahaya. Ada beberapa petugas yang terus membuntuti dirinya. Seorang saksi dalam persidangan mengaku melihat Somchai dipaksa masuk ke mobil di jalanan Kota Bangkok pada suatu malam.
Raibnya Somchai Neelaphaijit dan pengadilannya kemudian mengundang attention terhadap perlakuan Thailand terhadap hak asasi manusia. Barisan activist HAM bersikukuh menyatakan pengacara berusia 52 tahun itu diculik dan dibunuh, karena kecaman lantangnya terhadap cara apparatus keamanan menangani pergolakan di selatan.
Hasil diintervensi oleh KontraS (Comisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dapat menjelaskan bahwa:
Demikian kehilangan Somchai baru-baru ini, kasus kehilangan Somchai sebagai tokoh HAM pembela Muslim. Mereka
sebagai seorang pengacara Muslim yang banyak menangani case hak asasi manusia dan dinyatakan hilang, ternyata dibunuh oleh pejabat negara. Special teams pemerintah sedang menyidik case itu. Kelompok HAM menduga pengacara 52 tahun itu diculik dan dibunuh oleh pejabat polis. Sebab, Somcahi kerap protes atas penanganan masyarakat Muslim di selatan Thailand. Dia juga pernah menuduh polis menyiksa empat client nya yang dituduh anggota Jemaah Islamiyah selama di tahanan.
Somchai menghilang saat menjadi pengacara bagi 5 warga muslim di Thailand Selatan. Somchai mengajukan complain karena client nya mendapat penyiksaan selama dalam tahanan. Sebelum menghilang, Somchai mengaku kepada istrinya bahwa nyawanya dalam bahaya. Ada beberapa petugas yang terus membuntuti dirinya. Seorang saksi dalam persidangan mengaku melihat Somchai dipaksa masuk ke mobil di jalanan Kota Bangkok pada suatu malam.
Raibnya Somchai Neelaphaijit dan pengadilannya kemudian mengundang attention terhadap perlakuan Thailand terhadap hak asasi manusia. Barisan activist HAM bersikukuh menyatakan pengacara berusia 52 tahun itu diculik dan dibunuh, karena kecaman lantangnya terhadap cara apparatus keamanan menangani pergolakan di selatan.
Hasil diintervensi oleh KontraS (Comisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) dapat menjelaskan bahwa:
Pada 12 March 2004, Somchai
Neelaphaijit (Abu Bakar), seorang pembela kelompok tertindas Muslim di
Thailand. Sejak itu, keberadaannya tidak jelas lagi. Kemungkinan besar ia sudah
mati, disiksa dan dihilangkan secara paksa.
Uniknya juga case diselesaikan dengan mengelar pengadilan setengah hati. Di Thailand, pengadilan mem-verdict Major Polis Ngern Tongsuk tiga tahun penjara sementara membebaskan 4 terdakwa lainnya. Pengadilan kasus ini juga gagal mengungkapkan kebenaran atas motif politik yang sebenarnya. Sementara Major Polis Ngern Tongsuk dihukum karena menghilangkan barang bukti dan menghalangi hukum (obstruction of law).
Pasca persidangan authority politik PM Thaksin Shinawatra mengaku kecewa dan terus bercommitment akan mencari dalang pelaku utamanya. Case ini juga ditangani oleh Department of Special Investigation yang tidak berada di bawah control Police Thailand. Meski mechanism spesial tersebut telah menemukan berbagai bukti, keterangan, dan informasi yang penting, namun investigation lanjutan tidak terlihat berjalan. Pernyataan pimpinan politik di negara Thai nampak hanya sebagai lip service dan gagal memberikan kebenaran yang authentic bagi keluarga korban dan public luas.
Kegagalan penanganan kasus ‘individual’ ini juga menandakan memudarnya sistem aturan hukum (rule of law) di dalam Negara Thailand. Tetapi juga kepada community Muslim di Thailan Selatan yang selama ini susceptible terhadap pelanggaran HAM. Kegagalan kasus Somchai justru akan semakin menghambat upaya damai dan reconciliation di wiliyah selatan Thailand yang dibeberapa tahun belakangan ini menjadi wilayah conflict yang intensive.[1]
Uniknya juga case diselesaikan dengan mengelar pengadilan setengah hati. Di Thailand, pengadilan mem-verdict Major Polis Ngern Tongsuk tiga tahun penjara sementara membebaskan 4 terdakwa lainnya. Pengadilan kasus ini juga gagal mengungkapkan kebenaran atas motif politik yang sebenarnya. Sementara Major Polis Ngern Tongsuk dihukum karena menghilangkan barang bukti dan menghalangi hukum (obstruction of law).
Pasca persidangan authority politik PM Thaksin Shinawatra mengaku kecewa dan terus bercommitment akan mencari dalang pelaku utamanya. Case ini juga ditangani oleh Department of Special Investigation yang tidak berada di bawah control Police Thailand. Meski mechanism spesial tersebut telah menemukan berbagai bukti, keterangan, dan informasi yang penting, namun investigation lanjutan tidak terlihat berjalan. Pernyataan pimpinan politik di negara Thai nampak hanya sebagai lip service dan gagal memberikan kebenaran yang authentic bagi keluarga korban dan public luas.
Kegagalan penanganan kasus ‘individual’ ini juga menandakan memudarnya sistem aturan hukum (rule of law) di dalam Negara Thailand. Tetapi juga kepada community Muslim di Thailan Selatan yang selama ini susceptible terhadap pelanggaran HAM. Kegagalan kasus Somchai justru akan semakin menghambat upaya damai dan reconciliation di wiliyah selatan Thailand yang dibeberapa tahun belakangan ini menjadi wilayah conflict yang intensive.[1]
Pada tahun 1998, PBB meng- adoption Declaration Pembela HAM. Dokumen ini mengakui bahwa problem-problem utama di dunia akan berakhir -khususnya di negeri-negeri dengan regime yang repressive yang kurang peduli terhadap aturan main dalam hukum- adalah kebutuhan untuk menyediakan perlindungan bagi orang-orang yang berjuang untuk HAM.
Pembela HAM di seluruh kawasan Asia saat ini mendapatkan resiko atas kehidupannya. Keputusan untuk membunuh pembela HAM dan perilaku pembunuhan dilakukan secara rahasia. Hukum, pengadilan dan organisasi sipil tidak dapat menghentikan pembunuhnya. Di banyak kasus, apparatus negara dan lembaga negara terlibat dalam pembunuhan tersebut.
Pembunuhan terhadap setiap pembela HAM adalah upaya untuk membunuh gerakan HAM. Ini juga merupakan serangan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk menciptakan dan mempertinggi ketakutan. Dimana ketakutan hadir, ada banyak lebih kesempatan untuk pembunuhan selanjutnya, dan kesempatan yang lebih sedikit untuk memulihkannya. Ini merupakan method yang bertujuan untuk membisukan tidak hanya satu orang tetapi membisukan setiap orang.
Saat ini ketakutan yang intensive muncul di banyak negara bagian di Asia, dengan kasus “dihilangkan”, rakyat-rakyat muslim di Thailand Selatan telah banyak menjadi korban tertuduh kekerasan sebagai “Kambing Hitam”. Ini diciptakan oleh sejarah repression, dan serangkaian pembunuhan. Intimidation dan kekejaman adalah makanan sehari-hari dari kehidupan rakyat. Pembela HAM dan rakyat muslim Selatan Thai terus berhadapan dan mengatasi ketakutan, Intimidation dan kekejaman ini.
Angkhana Neelaphaijit
Angkhana Neelaphaijit, Isteri
Somchai.
Angkhana Neelaphaijit adalah istri
dari pengacara HAM Thailand, Somchai Neelaphaijit yang diculik oleh polis pada
12 March 2004. Pada saat itu, Somchai sedang membela klien-kliennya yang
menuduh polis yang melakukan penyiksaan. Mayatnya tidak pernah ditemukan.
Angkhana telah menjadi garis terdepan dari campaign untuk mendapatkan keadilan
atas hilangnya Somchai. Pada Januari 2006, seorang petugas polis di-verdict 3
tahun penjara, namun dalang dan keseluruhan kejahatan tidak pernah
di-identification. Ia telah mendapat ancaman mati karena ia melanjutkan
kerjanya. Ia menemui pejabat PBB baik di Thailand maupun di luar negeri untuk
mengejar case ini.
Pada hari perempuan internasional di tahun 2006, ia mendapat penghargaan dari Commission Thailand sebagai “seorang pembela HAM perempuan luar biasa”. Pada 11 Maret 2006, ia mendapat The 2nd Asian Human Rights Defender Award dari AHRC atas nama suaminya, yang juga mendapat pengakuan atas kerja Anghkhana sejak hilangnya suaminya 2 tahun lalu. Anghkhana saat ini menjadi inspiration dari sekian banyak orang-orang di Thailand, sebagaimana juga di tingkat internasional. Dalam melakukan kerjanya ia didukung oleh lima anaknya.
Pada 30 Maret 2006 juga AHRC telah me-nomination-kan seorang istri pembela HAM yang luar biasa untuk menerima penghargaan ternama, Gwangju Prize for Human Rights tahun 2006, diberikan oleh May 18 Memorial Foundation, Korea.
Demikian kehilangan Somchai, Hakim Elizabeth Evatt, anggota International Commission of Jurists yang bermarkas di Jenewa, Swiis. Ia berharap case ini bisa segera dituntaskan. Sebelumnya, banyak kalangan yang khawatir case ini akan semakin memperparah aksi kekerasan di Thailand Selatan.
Pada hari perempuan internasional di tahun 2006, ia mendapat penghargaan dari Commission Thailand sebagai “seorang pembela HAM perempuan luar biasa”. Pada 11 Maret 2006, ia mendapat The 2nd Asian Human Rights Defender Award dari AHRC atas nama suaminya, yang juga mendapat pengakuan atas kerja Anghkhana sejak hilangnya suaminya 2 tahun lalu. Anghkhana saat ini menjadi inspiration dari sekian banyak orang-orang di Thailand, sebagaimana juga di tingkat internasional. Dalam melakukan kerjanya ia didukung oleh lima anaknya.
Pada 30 Maret 2006 juga AHRC telah me-nomination-kan seorang istri pembela HAM yang luar biasa untuk menerima penghargaan ternama, Gwangju Prize for Human Rights tahun 2006, diberikan oleh May 18 Memorial Foundation, Korea.
Demikian kehilangan Somchai, Hakim Elizabeth Evatt, anggota International Commission of Jurists yang bermarkas di Jenewa, Swiis. Ia berharap case ini bisa segera dituntaskan. Sebelumnya, banyak kalangan yang khawatir case ini akan semakin memperparah aksi kekerasan di Thailand Selatan.
Siaran
Pers: Peringatan
Dua Tahun Kasus Somchai Neelaphaijit
NEGARA
BELUM MENGHARGAI HUMAN RIGHTS DEFENDER
Pada 12 maret 2004 yang lalu,
Somchai Neelaphaijit (Abu Bakar), seorang pembela kelompok tertindas Muslim di
Thailand Sejak itu, keberadaannya tidak jelas lagi. Kemungkinan besar ia sudah
mati, disiksa dan dihilangkan secara paksa. Hal ang sama juga terjadi di
Indonesia, pada 7 September 2004, kala Munir tewas dalam perjalanan udara
menuju Belanda oleh racun arsenik.
Uniknya juga kedua kasus coba
diselesaikan dengan mengelar pengadilan setengah hati. Di Indonesia, pengadilan
memvonis Pollycarpus BP, seorang pilot Garuda 14 tahun penjara. Sementara di
Thailand, pengadilan memvonis Mayor Polisi Ngern Tongsuk tiga tahun penjara
sementara membebaskan 4 terdakwa lainnya. Pengadilan di kedua kasus juga gagal
mengungkapkan kebenaran atas motif politik yang sebenarnya. Pollycarpus divonis
atas dasar motif personal-sebagai warga negara RI yang mencintai NKRI.
Sementara Mayor Polisi Ngern Tongsuk dihukum karena menghilangkan barang bukti
dan menghalangi hukum (obstruction of law).
Kesamaan lainnya adalah pasca
persidangan otoritas politik kedua negara-Presiden SBY dan PM Thaksin
Shinawatra-juga mengaku kecewa dan terus berkomitmen akan mencari dalang pelaku
utamanya. Kedua kasus juga ditangani secara extraordinary, kasus Munir
dinvestigasi dengan bantuan Tim Pencari Fakta/TPF, sementara kasus Somchai
ditangani oleh Department of Special Investigation yang tidak berada di bawah
kontrol Kepolisian Thailand. Meski kedua mekanisme spesial tersebut telah
menemukan berbagai bukti, keterangan, dan informasi yang penting, namun
investigasi lanjutan tidak terlihat berjalan. Kedua pernyataan pimpinan politik
di kdua negara nampak hanya sebagai lip service dan gagal memberikan kebenaran
yang otentik bagi keluarga korban dan publik luas.
Kegagalan penanganan dua kasus
'individual' ini juga menandakan memudarnya sistem aturan hukum (rule of law)
di kedua negara. Pernyatan Presiden SbY bahwa kasus Munir adalah “a test
of our history"hanya menjadi bagian dari deret ukur kegagalan penegakkan
hukum dan rusaknya parat penegakan hukum RI. Kasus Munir tidak juga menjadi
pendobrak bagi buruknya kinerja aparat Polri, Kejaksaan Agung, dan Pengadilan
yang selama ini gagal memberikankepercayaan keapda publik. Demikian pula kasus
Somchai juga gagal memberikan keadilan tidak hanya kepada keluarganya, tetapi
juga kepada komunitas Muslim di Thailan Selatan yang selama ini rentan terhadap
pelanggaran HAM. Kegagalan kasus Somchai justru akan semakin menghambat upaya
damai dan rekonsiliasi di wiliyah selatan Thailand yang dibeberapa tahun
belakangan ini menjadi wilayah konflik yang intensif.
sumbur:
Dari: Patani Fakta Dan Opini
http://www.facebook.com/#!/notes/patani-fakta-dan-opini/di-hilangkan-tok-guru-haji-sulong-vs-tokoh-ham-somchai-neelaphaijit-abu-bakar-de/162648633758525
ไม่มีความคิดเห็น:
แสดงความคิดเห็น